Saturday, January 4, 2014

When Love Comes [1]

__oOo__


            Langit sore yang hampir larut sudah menampakkan diri di tengah-tengah kerumunan para remaja yang berseragam putih abu-abu, namun sebagian kecil dari mereka masih saja berkutat dengan kegiatan masing-masing. Termasuk gadis mungil ini, di balik lensa kacamatanya, ia mengamati lapangan di hadapannya. Ia duduk di kursi taman depan kelasnya dan menghadap ke sang objek.
            Pikirannya melambung. Matanya mengikuti arah gerak bola yang di giring. Seutas senyum tersungging di bibirnya.
            “Percuma sembunyi disini! Sono deh beli minum kasih ke doi.”
            Seruan Sivia tiba-tiba memasuki gendang telinga Ify, gadis tadi. Sontak, ia langsung menoleh.
            “Ngeliat aja udah cukup, sob!” respon Ify tenang. Tak menghilangkan senyuman tadi.
            Kedua gadis ini tiba-tiba saling diam. Sivia yang sudah duduk disamping Ify, mengikuti arah pandang Ify. Ada ketenangan disana, saat ia menangkap sesosok bayangan yang beradu dengan terik matahari.

            “Orang nggak akan ngerasain ada loe, Fy. Kalau loe nggak gerak.” Ucap Sivia tak kalah tenang dengan Ify.
            Ify mengerutkan keningnya, namun detik kemudian ia menarik nafas dalam.
            “Loe tahu kan ini?”
            Ify membuka mulutnya sambil menunjuk bangku yang mereka duduki.
            “Kursi. Pernah nggak kursi ini melakukan sesuatu?”
            Kening Sivia berkerut, lalu ia menggeleng menjawab pertanyaan Ify.
            “Pernah nggak dia manggil kita buat mendudukinya?”
            Sivia menggeleng lagi. Masih bingung, apa maksud dari kata-kata yang terlontarkan dari mulut Ify.
            “dia nggak akan manggil kita, dia tetep diem. Dia nunggu sampai ada orang yang membutuhkan dia. Dia slalu ada untuk mereka yang capek. Ia nggak pernah nampakin kalau dia slalu ada untuk mereka, ia akan nunggu sampai mereka sadar kalau ia slalu ada untuk mereka.” Terang Ify, tak ada emosi di dalamnya. Tetap tenang.
            Sivia yang mulai paham maksud Ify, membuang nafasnya kasar. Dan bersiap untuk berontak.
            “Tapi, kursi itu benda mati, Fy. Loe makhluk hidup. Come on, girl! Kursi nggak punya mata, ia nggak punya hidung, ia nggak punya hati, ia nggak punya apa aja yang loe punya. Loe mau Cuma di anggap kalau mereka lagi butuh?” seloroh Sivia.
            Ify menoleh. Menatap kedua bola mata hitam milik Sivia yang terbingkai dengan kelopak mata almondnya. Ia sahabat karibnya, sahabat terlama, sahabat terawet dan sahabat yang paling ia sayangi. Pertemuan singkat saat di bimbel waktu SD, menyebabkan mereka berdua kenal satu sama lain, hingga sekarang, mereka duduk di bangku SMA yang sama.
            “kita kayak kenal baru kemaren, Vi.” Ify tetap tenang, dan menyunggingkan senyum tipisnya. Lalu mengalihkan arah bola matanya menuju lapangan.
            “Hidup itu memang harus berjuang, berusaha untuk menggapai apa yang kita inginkan. Tapi, jangan terlalu terobsesi. Karena, kita itu sebenarnya seperti bola yang digiring mereka itu, bola itu pasrah mengikuti arah sang penggiring.”
            Ucapan Ify barusan, mau tak mau membungkam mulut Sivia yang memang ingin mengungkapkan apa yang ada di benaknya. Akhirnya, Sivia hanya mengendikkan bahu dan terus mengamati lapangan untuk menemani sang sahabat.



***



            Matahari telah beganti sift dengan bulan. Langit tampak tanpa di halangi oleh mendung. Sehingga, sang penghiasnya―bintang bersinar dengan terangnya malam ini.
            Angin berhembus sejuk memasuki rongga-rongga setiap bangunan di komplek ini. Gadis manis ini tengah terduduk dengan tatapan yang kosong, matanya menatap langit yang di lapisi taburan bintang.
            Ia masih memikirkan apa yang di utarakan oleh sahabatnya tadi. Ucapan Ify tadi, tidak sepenuhnya salah. Malah sekarang, hatinya membenarkan apa yang diucapkan Ify tadi.
            Ucapan Ify masih terngiang-ngiang di pikirannya. Pemikirannya bercabang. Flashback perkenalannya dengan Ify, sampai kenal dekat dan menjadi sahabat yang mengisi satu sama lain. Mengingat itu semua, membuat dadanya sesak. Ia tak ingin kehilangan sahabatnya itu. Ia tak mau!! Ia ingin jujur, tapi ia takut. Takut Ify berubah, takut Ify meninggalkannya sampai akhirnya persahabatan mereka yang sudah berdiri kokoh, hancur menjadi abu.
            Kenapa harus gue?
            Ia menjerit dalam hati, tapi melirih di mulutnya.
Ia lalu menyenderkan kepalanya ke dinding balkonnya, terduduk lemas disana. Sambil menikmati hawa dingin yang sejuk malam itu.
Maafin gue, Fy...


***


            Keesokkan harinya, Ify menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Berjalan kaki menuju sekolahnya. Jarak yang dekat dengan sekolahnya, membuat Ify malas mengeluarkan motor maticnya.
            Sepanjang perjalananannya dari rumah menuju gerbang utama komplek, ia hanya menunduk. Menatap ujung sepatunya. Sesekali menendang-nendang pelan kerikil yang ada di hadapannya.
            Langkahnya terhenti saat ia menemukan bunga yang tumbuh di sebelah jalan itu, bunga itu termasuk bunga liar. Bunga itu tidak secantik bunga mawar, tidak seharum bunga sedap malam saat malam hari, bunga itu adalah bunga dandelion. Bunga yang sangat mempunyai arti tersendiri bagi manusia yang benar-benar memahami siklus hidupnya.
            Ify mengambil setangkai bunga tersebut, mendekatkan wajahnya kearah bunga tersebut. Mengamati setiap bentuknya dan setiap bagiannya.
            Wush!!
            Ify meniup bunga dandelion itu, dengan seketika mereka terbang mengikuti arah sang angin. Satu pelajaran yang ia dapatkan lagi hari ini dari dandelion. Dan ia ingin menjadi pribadi seperti dandelion.


__oOo__



            Kabut tipis yang seolah enggan berpaling dari tempatnya pagi ini, tidak menghalangi pemuda lengkap dengan motor kesayangannya membelah jalanan salah satu kawasan di ibukota.
            Di perempatan jalan yang ia lalui, ia terpaksa berhenti. Karena ada perubahan warna dari rambu-rambu lalu lintas. Kebetulan yang sangat tidak di inginkan. Pemuda itu menunggu warna merah menjadi hijau, sambil melihat ke kaca spion dan melihat wajahnya di pantulan kaca tersebut.
            Warna merah pun akhirnya berganti. Dan ia melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.


***


            Setelah melalui perjalanan yang memakan waktu beberapa puluh menit, akhirnya pemuda itu berhenti tepat di tengah-tengah jalan raya karena akan berbelok ke arah kanan. Gerbang tinggi nan megah menyambutnya, dan seorang satpam yang setia di tengah jalan untuk membantu menyeberangkan para siswa-siswi SMA NATUREN.
            Seusai memasuki gerbang itu, terdapat bangunan megah yang menempati pekarangan luas. Gaya bangunannya klasik, warnanya pun simple tapi terlihat mewah.
            Ia lalu memarkirkan motornya di tempat paling pojok. Yang merupakan tempat favorite pemuda tersebut. Lalu, ia meninggalkan tempat tersebut.
            “Hey, bro!”
            Tepukan di bahunya, membuat ia memalingkan wajahnya menatap siapa yang memanggilnya.
Alis pemuda itu terangkat, seolah berkata ‘ada-apa?’
Sang lawan bicara terkekeh.
“Gimana perkembangannya, Yo?”
Pemuda itu masih mengerutkan keningnya. “Maksud loe?” desisnya.
Dan lagi, sang lawan bicara terkekeh semakin menjadi-jadi.
“Apa perlu gue yang turun tangan? Gue bilangin ke dia pas ekskul besok, kalau dapet salam dari loe. Gimana?” tantangnya.
“Gue pastiin, sebelum dia denger dari loe, dia udah denger dari gue sendiri.” Responnya penuh keyakinan, mantab.
Mendengar ucapan sang teman, ia tersenyum. Menepuk-nepuk pundak sang teman dengan telapak tangan kanannya.
“Sukses, bro!”


__oOo__



            Bel pertanda istirahat pun terdengar. Biasanya, mereka berbondong-bondong menuju kantin. Namun, tidak dengan segerombolan pemuda ini. Mereka berkumpul di pinggir lapangan utama, lapangan futsal, yang langsung berhadapan dengan kelas-kelas yang mengitarinya.
            Mereka saling bercengkerama, mengajukan setiap pendapat yang ada di kepalanya. Kerumunan mereka, menimbulkan banyak mata yang menyorot. Tapi, masih belum ada yang mengerumuni lapangan untuk sekedar menonton atau meneriaki nama mereka.
            “Yaudah, main yuk!” Ajak salah satu pemuda yang berperawakan tinggi lengkap dengan ketampanan wajah yang khas. Sawo matang yang menyelimuti senyuman manisnya.
            Ia Rio, Afrio Rizky. Salah satu penghuni SMA NATUREN yang duduk di kelas 11. Ia salah satu aset berharga SMA-nya. Dengan skill di bidang olahraga satu ini, hanya kurun waktu setahun ia sudah mengantongi berbagai perhargaan bersama tim-nya, baik acara formal maupun informal.
            Teman-temannya pun segera mengikuti derap langkah panjang milik Rio. Mereka langsung menyebar dengan posisi masing-masing yang sudah di tentukan sebelumnya―melalui musyawarah singkat yang berlangsung beberapa menit sebelum permainan berlangsung.
            PRIIIITTT!
            Bertepatan dengan peluit yang di tiup oleh Daud―cowok berkulit hitam dengan postur yang ya lumayan, tak terlalu pendek juga tak terlalu tinggi yang sudah menyepakati untuk menjadi wasit siang hari ini, bola pun mulai di permainkan. Di oper sana-sini. Tidak hanya bola, dengan peluit itu ditiup, lapangan seketika dikerumuni siswa-siswi yang berseragam putih abu-abu juga sama seperti mereka yang bermain bola.
            Semuanya saling teriak, menyemangati pemain favoritenya. Sebagian besar, Cakka-lah yang paling sering dan paling terdengar sangat keras namanya yang disebut.
            Cakka adalah kapten futsal di SMA NATUREN. Dengan wajah yang―kata banyak temannya―mirip dengan Zayn Malik. Alis tebal, mata elang yang tajam, dan kulit putih. Ditambah, rambut yang ia tata rapi dengan rambut bagian depan yang pendek ia buat jambul.
            “CAKKAAAAAAAA!!!” koor sekelompok remaja yang mengerumuni lapangan tersebut.
            Nama yang merasa disebut, tersenyum. Ia terus mengikuti arah gerak bola itu. Dan kini ia berhadapan dengan Rio, dan beradu memperebutkan bola di daerah Cakka. Mereka terus beradu dengan skill yang tak bisa diremehkan.
            Sedang seru-serunya merebutkan bola, pandangan Cakka bertumpuh pada satu titik. Titik yang berada di ujung sana. Gadis berkacamata yang lagi serius menonton permainannya.
            Sedetik saja ia lengah, semakin besar kesempatan Rio untuk menerobos pertahanan daerah Cakka.
            “GOAAAL!!!”
            Seru semuanya serempak. Rio berhasil menjebol gawang Cakka. Cakka hanya tersenyum, dan mengisyaratkan semuanya untuk melanjutkannya.
            “Dia siapa, ya?”


__oOo__


            Bel pertanda masuk pun berbunyi. Sontak, semuanya berbondong-bondong untuk memasuki kelas masing-masing.
            Rio dan kawan-kawan, masih saja selonjoran di tepi lapangan dekat pohon besar itu. Mereka dengan santainya meneguk tetesan air di botol yang di genggam masing-masing.
            “Gimana, bro. Udah bilang?”
            Bisikan yang masuk di telinga Rio membuatnya menoleh seketika. Suara khas seorang pemuda yang bernama Gabriel itu, teman Rio semasa SMP.
            Alis Rio terangkat. Melihat cengiran khas sang sahabat itu.
            “apa urusan loe?” nada Rio sarkatis.
            Kekehan Gabriel semakin keras. “gengsi kok di gedein sih!”
            Rio berdecak. Ia merasa Gabriel meremehkannya semakin dalam.
            “Gue bakal buktiin!” desisnya tajam.
            Ia lalu melenggangkan kakinya untuk bangkit dan pergi dari tempat tersebut. Tanpa menoleh, bahkan merespon pertanyaan dari teman-teman se-ekskulnya ini.
            Melihat itu, Gabriel menarik ujung mulutnya membentuk sebuah senyuman.


__oOo__


            Mengingat omongan Gabriel kemarin, Rio menggertakkan giginya. Dan semakin  membulatkan tekadnya untuk melakukannya hari ini. Ia pun berjalan santai mengitari sekolah untuk mencari sosok yang menjadi objeknya.
            Kantin. Tujuan terakhir setelah perpustakaan. Ia mengedarkan ke penjuru-penjuru kantin. Namun, nihil. Ia tak melihat sesosok itu.
            Ia menghembuskan nafasnya kasar, lalu meninggalkan kantin. Dan berjalan kembali menuju ruangan kelasnya yang lumayan jauh dari kantin.
            Di perjalanan, ia harus melewati beberapa ruangan bagian dari SMAnya. Sesampai di depan toilet cewek, langkah Rio terhenti.
            “IFY!!! Udah belum?”
            Rio semakin merasakan tubuhnya berubah, baik suhunya maupun cara kerja organ tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang, telapak tangannya terasa dingin.


__oOo__


            Di dalam toilet, Sivia dan Ify masih saja ribet satu sama lain. Biasalah, kaum perempuan itu sudah kodratnya menjadi sangat ribet ini.
            “IFY!!! Udah belum?”
            Teriak Sivia menggelegar sambil mematut dirinya di depan cermin toilet. Memastikan, dandanannya dan penampilannya tidak berantakan.
            “Iya, bentar.” Sahutan dari dalam salah satu ruangan toilet.
            Tak lama kemudian, Ify yang baru keluar toilet, ikut-ikutan untuk bercermin dan merapikan penampilannya.
            “Yuk, keluar.” Ajak Ify dan berjalan dahulu sebelum Sivia.
            Namun, saat ia berada di tengah-tengah pintu, ia mematung. Apa yang berada dihadapannya itu menimbulkan reaksi keras di tubuh Ify.
            Sivia yang mengetahui jelas perubahan sikap Ify, buru-buru mensejajarkan posisi dengan Ify yang mematung di tengah pintu. Sivia pun terdiam.
            Ada Rio yang sedang berdiam disana. Menghadap kearah pintu yang sekarang ada dua orang gadis. Mereka bertiga sama-sama terdiam.
            “Ngg.. hai..”
            Mereka bertiga menoleh kearah sumber suara. Ternyata, Cakka sedang menghampiri mereka―lebih tepatnya, Ify dan Sivia.
            “Ha...i.” sahut Ify dan Sivia berbarengan dan terbata.
            Lalu, Ify dan Sivia segera minggir ke arah samping pintu, agar tidak menghalangi keluar-masuknya siswa yang menuju toilet.
            “Gue Cakka.”
            Cakka menyalami kedua gadis tersebut.
            “Ify...”
            “Sivia..”
            Detik berikutnya, Rio tersadar jika ia sedang menjadi tokoh pasive disini. Segera, ia beranjak dari tempat tersebut, menuju ke kelasnya.
            Shit..
            Dalam diamnya, ia mengumpat dalam hati. Dan terus berlalu ke kelasnya. Meninggalkan, tiga insan disana.



__oOo__




HAAAI~
aku lagi iseng nih. lanjut apa enggak tergantung yang respon :p butuh bgt saran&kritik! :D enjoy ya! sorry kalau ada typo(s), thanks buat yang nyempetin baca dan ngasih saran&kritik! yehehe :D special thanks juga buat Kak Amel nih yang buanyak ngasih motivasi, makasih kak ({})


@Lyasavitri

No comments:

Post a Comment