__oOo__
Langit sore yang hampir larut sudah menampakkan diri di
tengah-tengah kerumunan para remaja yang berseragam putih abu-abu, namun
sebagian kecil dari mereka masih saja berkutat dengan kegiatan
masing-masing. Termasuk gadis mungil ini, di balik lensa kacamatanya, ia
mengamati lapangan di hadapannya. Ia duduk di kursi taman depan
kelasnya dan menghadap ke sang objek.
Pikirannya melambung. Matanya mengikuti arah gerak bola yang di giring. Seutas senyum tersungging di bibirnya.
“Percuma sembunyi disini! Sono deh beli minum kasih ke doi.”
Seruan Sivia tiba-tiba memasuki gendang telinga Ify, gadis tadi. Sontak, ia langsung menoleh.
“Ngeliat aja udah cukup, sob!” respon Ify tenang. Tak menghilangkan senyuman tadi.
Kedua gadis ini tiba-tiba saling diam. Sivia yang sudah
duduk disamping Ify, mengikuti arah pandang Ify. Ada ketenangan disana,
saat ia menangkap sesosok bayangan yang beradu dengan terik matahari.
“Orang nggak akan ngerasain ada loe, Fy. Kalau loe nggak gerak.” Ucap Sivia tak kalah tenang dengan Ify.
Ify mengerutkan keningnya, namun detik kemudian ia menarik nafas dalam.
“Loe tahu kan ini?”
Ify membuka mulutnya sambil menunjuk bangku yang mereka duduki.
“Kursi. Pernah nggak kursi ini melakukan sesuatu?”
Kening Sivia berkerut, lalu ia menggeleng menjawab pertanyaan Ify.
“Pernah nggak dia manggil kita buat mendudukinya?”
Sivia menggeleng lagi. Masih bingung, apa maksud dari kata-kata yang terlontarkan dari mulut Ify.
“dia nggak akan manggil kita, dia tetep diem. Dia nunggu
sampai ada orang yang membutuhkan dia. Dia slalu ada untuk mereka yang
capek. Ia nggak pernah nampakin kalau dia slalu ada untuk mereka, ia
akan nunggu sampai mereka sadar kalau ia slalu ada untuk mereka.” Terang
Ify, tak ada emosi di dalamnya. Tetap tenang.
Sivia yang mulai paham maksud Ify, membuang nafasnya kasar. Dan bersiap untuk berontak.
“Tapi, kursi itu benda mati, Fy. Loe makhluk hidup. Come on, girl!
Kursi nggak punya mata, ia nggak punya hidung, ia nggak punya hati, ia
nggak punya apa aja yang loe punya. Loe mau Cuma di anggap kalau mereka
lagi butuh?” seloroh Sivia.
Ify menoleh. Menatap kedua bola mata hitam milik Sivia
yang terbingkai dengan kelopak mata almondnya. Ia sahabat karibnya,
sahabat terlama, sahabat terawet dan sahabat yang paling ia sayangi.
Pertemuan singkat saat di bimbel waktu SD, menyebabkan mereka berdua
kenal satu sama lain, hingga sekarang, mereka duduk di bangku SMA yang
sama.
“kita kayak kenal baru kemaren, Vi.” Ify tetap tenang,
dan menyunggingkan senyum tipisnya. Lalu mengalihkan arah bola matanya
menuju lapangan.
“Hidup itu memang harus berjuang, berusaha untuk
menggapai apa yang kita inginkan. Tapi, jangan terlalu terobsesi.
Karena, kita itu sebenarnya seperti bola yang digiring mereka itu, bola
itu pasrah mengikuti arah sang penggiring.”
Ucapan Ify barusan, mau tak mau membungkam mulut Sivia
yang memang ingin mengungkapkan apa yang ada di benaknya. Akhirnya,
Sivia hanya mengendikkan bahu dan terus mengamati lapangan untuk
menemani sang sahabat.
***
Matahari telah beganti sift dengan bulan. Langit tampak
tanpa di halangi oleh mendung. Sehingga, sang penghiasnya―bintang
bersinar dengan terangnya malam ini.
Angin berhembus sejuk memasuki rongga-rongga setiap
bangunan di komplek ini. Gadis manis ini tengah terduduk dengan tatapan
yang kosong, matanya menatap langit yang di lapisi taburan bintang.
Ia masih memikirkan apa yang di utarakan oleh sahabatnya
tadi. Ucapan Ify tadi, tidak sepenuhnya salah. Malah sekarang, hatinya
membenarkan apa yang diucapkan Ify tadi.
Ucapan Ify masih terngiang-ngiang di pikirannya.
Pemikirannya bercabang. Flashback perkenalannya dengan Ify, sampai
kenal dekat dan menjadi sahabat yang mengisi satu sama lain. Mengingat
itu semua, membuat dadanya sesak. Ia tak ingin kehilangan sahabatnya
itu. Ia tak mau!! Ia ingin jujur, tapi ia takut. Takut Ify berubah,
takut Ify meninggalkannya sampai akhirnya persahabatan mereka yang sudah
berdiri kokoh, hancur menjadi abu.
Kenapa harus gue?
Ia menjerit dalam hati, tapi melirih di mulutnya.
Ia lalu menyenderkan kepalanya ke dinding balkonnya, terduduk lemas disana. Sambil menikmati hawa dingin yang sejuk malam itu.
Maafin gue, Fy...
***
Keesokkan harinya, Ify menjalankan rutinitasnya seperti
biasa. Berjalan kaki menuju sekolahnya. Jarak yang dekat dengan
sekolahnya, membuat Ify malas mengeluarkan motor maticnya.
Sepanjang perjalananannya dari rumah menuju gerbang utama
komplek, ia hanya menunduk. Menatap ujung sepatunya. Sesekali
menendang-nendang pelan kerikil yang ada di hadapannya.
Langkahnya terhenti saat ia menemukan bunga yang tumbuh
di sebelah jalan itu, bunga itu termasuk bunga liar. Bunga itu tidak
secantik bunga mawar, tidak seharum bunga sedap malam saat malam hari,
bunga itu adalah bunga dandelion. Bunga yang sangat mempunyai arti
tersendiri bagi manusia yang benar-benar memahami siklus hidupnya.
Ify mengambil setangkai bunga tersebut, mendekatkan
wajahnya kearah bunga tersebut. Mengamati setiap bentuknya dan setiap
bagiannya.
Wush!!
Ify meniup bunga dandelion itu, dengan seketika mereka
terbang mengikuti arah sang angin. Satu pelajaran yang ia dapatkan lagi
hari ini dari dandelion. Dan ia ingin menjadi pribadi seperti dandelion.
__oOo__
Kabut tipis yang seolah enggan berpaling dari tempatnya
pagi ini, tidak menghalangi pemuda lengkap dengan motor kesayangannya
membelah jalanan salah satu kawasan di ibukota.
Di perempatan jalan yang ia lalui, ia terpaksa berhenti.
Karena ada perubahan warna dari rambu-rambu lalu lintas. Kebetulan yang
sangat tidak di inginkan. Pemuda itu menunggu warna merah menjadi hijau,
sambil melihat ke kaca spion dan melihat wajahnya di pantulan kaca
tersebut.
Warna merah pun akhirnya berganti. Dan ia melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.
***
Setelah melalui perjalanan yang memakan waktu beberapa
puluh menit, akhirnya pemuda itu berhenti tepat di tengah-tengah jalan
raya karena akan berbelok ke arah kanan. Gerbang tinggi nan megah
menyambutnya, dan seorang satpam yang setia di tengah jalan untuk
membantu menyeberangkan para siswa-siswi SMA NATUREN.
Seusai memasuki gerbang itu, terdapat bangunan megah yang
menempati pekarangan luas. Gaya bangunannya klasik, warnanya pun simple
tapi terlihat mewah.
Ia lalu memarkirkan motornya di tempat paling pojok. Yang
merupakan tempat favorite pemuda tersebut. Lalu, ia meninggalkan tempat
tersebut.
“Hey, bro!”
Tepukan di bahunya, membuat ia memalingkan wajahnya menatap siapa yang memanggilnya.
Alis pemuda itu terangkat, seolah berkata ‘ada-apa?’
Sang lawan bicara terkekeh.
“Gimana perkembangannya, Yo?”
Pemuda itu masih mengerutkan keningnya. “Maksud loe?” desisnya.
Dan lagi, sang lawan bicara terkekeh semakin menjadi-jadi.
“Apa perlu gue yang turun tangan? Gue bilangin ke dia pas ekskul besok, kalau dapet salam dari loe. Gimana?” tantangnya.
“Gue pastiin, sebelum dia denger dari loe, dia udah denger dari gue sendiri.” Responnya penuh keyakinan, mantab.
Mendengar ucapan sang teman, ia tersenyum. Menepuk-nepuk pundak sang teman dengan telapak tangan kanannya.
“Sukses, bro!”
__oOo__
Bel pertanda istirahat pun terdengar. Biasanya, mereka
berbondong-bondong menuju kantin. Namun, tidak dengan segerombolan
pemuda ini. Mereka berkumpul di pinggir lapangan utama, lapangan futsal,
yang langsung berhadapan dengan kelas-kelas yang mengitarinya.
Mereka saling bercengkerama, mengajukan setiap pendapat
yang ada di kepalanya. Kerumunan mereka, menimbulkan banyak mata yang
menyorot. Tapi, masih belum ada yang mengerumuni lapangan untuk sekedar
menonton atau meneriaki nama mereka.
“Yaudah, main yuk!” Ajak salah satu pemuda yang
berperawakan tinggi lengkap dengan ketampanan wajah yang khas. Sawo
matang yang menyelimuti senyuman manisnya.
Ia Rio, Afrio Rizky. Salah satu penghuni SMA NATUREN yang
duduk di kelas 11. Ia salah satu aset berharga SMA-nya. Dengan skill
di bidang olahraga satu ini, hanya kurun waktu setahun ia sudah
mengantongi berbagai perhargaan bersama tim-nya, baik acara formal
maupun informal.
Teman-temannya pun segera mengikuti derap langkah panjang
milik Rio. Mereka langsung menyebar dengan posisi masing-masing yang
sudah di tentukan sebelumnya―melalui musyawarah singkat yang berlangsung
beberapa menit sebelum permainan berlangsung.
PRIIIITTT!
Bertepatan dengan peluit yang di tiup oleh Daud―cowok
berkulit hitam dengan postur yang ya lumayan, tak terlalu pendek juga
tak terlalu tinggi yang sudah menyepakati untuk menjadi wasit siang hari
ini, bola pun mulai di permainkan. Di oper sana-sini. Tidak hanya bola,
dengan peluit itu ditiup, lapangan seketika dikerumuni siswa-siswi yang
berseragam putih abu-abu juga sama seperti mereka yang bermain bola.
Semuanya saling teriak, menyemangati pemain favoritenya.
Sebagian besar, Cakka-lah yang paling sering dan paling terdengar sangat
keras namanya yang disebut.
Cakka adalah kapten futsal di SMA NATUREN. Dengan wajah
yang―kata banyak temannya―mirip dengan Zayn Malik. Alis tebal, mata
elang yang tajam, dan kulit putih. Ditambah, rambut yang ia tata rapi
dengan rambut bagian depan yang pendek ia buat jambul.
“CAKKAAAAAAAA!!!” koor sekelompok remaja yang mengerumuni lapangan tersebut.
Nama yang merasa disebut, tersenyum. Ia terus mengikuti
arah gerak bola itu. Dan kini ia berhadapan dengan Rio, dan beradu
memperebutkan bola di daerah Cakka. Mereka terus beradu dengan skill yang tak bisa diremehkan.
Sedang seru-serunya merebutkan bola, pandangan Cakka
bertumpuh pada satu titik. Titik yang berada di ujung sana. Gadis
berkacamata yang lagi serius menonton permainannya.
Sedetik saja ia lengah, semakin besar kesempatan Rio untuk menerobos pertahanan daerah Cakka.
“GOAAAL!!!”
Seru semuanya serempak. Rio berhasil menjebol gawang
Cakka. Cakka hanya tersenyum, dan mengisyaratkan semuanya untuk
melanjutkannya.
“Dia siapa, ya?”
__oOo__
Bel pertanda masuk pun berbunyi. Sontak, semuanya berbondong-bondong untuk memasuki kelas masing-masing.
Rio dan kawan-kawan, masih saja selonjoran di tepi
lapangan dekat pohon besar itu. Mereka dengan santainya meneguk tetesan
air di botol yang di genggam masing-masing.
“Gimana, bro. Udah bilang?”
Bisikan yang masuk di telinga Rio membuatnya menoleh
seketika. Suara khas seorang pemuda yang bernama Gabriel itu, teman Rio
semasa SMP.
Alis Rio terangkat. Melihat cengiran khas sang sahabat itu.
“apa urusan loe?” nada Rio sarkatis.
Kekehan Gabriel semakin keras. “gengsi kok di gedein sih!”
Rio berdecak. Ia merasa Gabriel meremehkannya semakin dalam.
“Gue bakal buktiin!” desisnya tajam.
Ia lalu melenggangkan kakinya untuk bangkit dan pergi
dari tempat tersebut. Tanpa menoleh, bahkan merespon pertanyaan dari
teman-teman se-ekskulnya ini.
Melihat itu, Gabriel menarik ujung mulutnya membentuk sebuah senyuman.
__oOo__
Mengingat omongan Gabriel kemarin, Rio menggertakkan
giginya. Dan semakin membulatkan tekadnya untuk melakukannya hari ini.
Ia pun berjalan santai mengitari sekolah untuk mencari sosok yang
menjadi objeknya.
Kantin. Tujuan terakhir setelah perpustakaan. Ia
mengedarkan ke penjuru-penjuru kantin. Namun, nihil. Ia tak melihat
sesosok itu.
Ia menghembuskan nafasnya kasar, lalu meninggalkan
kantin. Dan berjalan kembali menuju ruangan kelasnya yang lumayan jauh
dari kantin.
Di perjalanan, ia harus melewati beberapa ruangan bagian
dari SMAnya. Sesampai di depan toilet cewek, langkah Rio terhenti.
“IFY!!! Udah belum?”
Rio semakin merasakan tubuhnya berubah, baik suhunya
maupun cara kerja organ tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang, telapak
tangannya terasa dingin.
__oOo__
Di dalam toilet, Sivia dan Ify masih saja ribet satu sama
lain. Biasalah, kaum perempuan itu sudah kodratnya menjadi sangat ribet
ini.
“IFY!!! Udah belum?”
Teriak Sivia menggelegar sambil mematut dirinya di depan
cermin toilet. Memastikan, dandanannya dan penampilannya tidak
berantakan.
“Iya, bentar.” Sahutan dari dalam salah satu ruangan toilet.
Tak lama kemudian, Ify yang baru keluar toilet, ikut-ikutan untuk bercermin dan merapikan penampilannya.
“Yuk, keluar.” Ajak Ify dan berjalan dahulu sebelum Sivia.
Namun, saat ia berada di tengah-tengah pintu, ia
mematung. Apa yang berada dihadapannya itu menimbulkan reaksi keras di
tubuh Ify.
Sivia yang mengetahui jelas perubahan sikap Ify,
buru-buru mensejajarkan posisi dengan Ify yang mematung di tengah pintu.
Sivia pun terdiam.
Ada Rio yang sedang berdiam disana. Menghadap kearah
pintu yang sekarang ada dua orang gadis. Mereka bertiga sama-sama
terdiam.
“Ngg.. hai..”
Mereka bertiga menoleh kearah sumber suara. Ternyata, Cakka sedang menghampiri mereka―lebih tepatnya, Ify dan Sivia.
“Ha...i.” sahut Ify dan Sivia berbarengan dan terbata.
Lalu, Ify dan Sivia segera minggir ke arah samping pintu,
agar tidak menghalangi keluar-masuknya siswa yang menuju toilet.
“Gue Cakka.”
Cakka menyalami kedua gadis tersebut.
“Ify...”
“Sivia..”
Detik berikutnya, Rio tersadar jika ia sedang menjadi
tokoh pasive disini. Segera, ia beranjak dari tempat tersebut, menuju ke
kelasnya.
Shit..
Dalam diamnya, ia mengumpat dalam hati. Dan terus berlalu ke kelasnya. Meninggalkan, tiga insan disana.
__oOo__
HAAAI~
aku
lagi iseng nih. lanjut apa enggak tergantung yang respon :p butuh bgt
saran&kritik! :D enjoy ya! sorry kalau ada typo(s), thanks buat yang
nyempetin baca dan ngasih saran&kritik! yehehe :D special thanks
juga buat Kak Amel nih yang buanyak ngasih motivasi, makasih kak ({})
@Lyasavitri
No comments:
Post a Comment