__oOo__
Kita semua tahu, di dunia ini tidak ada yang abadi. Namun, salahkah jika kita mengenangnya agar abadi?
∞∞∞
Siang yang terik kali ini tidak ia hiraukan. Hembusan
angin yang tak terasa sejuk lagi, melainkan hangat, juga tidak
membuatnya segera bergegas dari tempat yang penuh keheningan itu.
Ia memeluk kedua lututnya erat. Sangat erat, seolah
lututnya itu adalah seseorang yang tak ingin ia lepas. Tak ada
seseorangpun yang ingin merasakan kehilangan, bukan? Namun, itu sudah
menjadi warna hidup. Masih ingat tentang perkataan jika hidup ini
terdapat dua perkara. Ya, berarti ada awal, ada akhir. Ada pertemuan,
ada perpisahan. Hal yang simple, tapi tergantung masing-masing orang
untuk menghadapinya. Kembali ke sosok gadis tersebut, ia masih setia
memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya disana.
Isakan halus terdengar samar. Suasana yang sunyi
mempermudah mendengar apa yang terjadi. Gadis itu menangis dalam
diamnya. Ia terisak pelan. Wajahnya masih saja ia tenggelamkan disana.
Apa yang telah terjadi?
__oOo__
Ify merasakan jika ia sudah terlalu lama berada disini.
Ia mengangkat wajahnya dan melihat jam yang melingkar di tangan
kanannya. Pupilnya membesar sebentar seusai melihat pukul berapa
sekarang. Ia menghembuskan nafas berat, menetralkan kondisinya dari
sebelumnya. Menyeka tetesan air mata yang berbentuk aliran kecil sebuah
sungai di pipinya.
Ia harus kuat, ia harus bangkit! Berkali-kali ia
mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya. Sampai akhirnya, rasa itu
sedikit berkurang. Dan ini saatnya ia untuk bangkit!!
Baru selangkah ia berbalik arah menuju jalan raya
disamping bukit tempat favoritenya kali ini. Ia melihat sesosok bayangan
dari arah depannya. Ia mendongak, matanya memanas melihat siapa yang
ada di hadapannya. Sesosok gadis yang berpenampilan tak jauh beda dari
dirinya.
“Ify......” lirihnya.
Ify menatap penuh arti, namun ia tak beranjak. Juga tak
melakukan sesuatu apapun. Gadis itu Sivia, Ify sangat mengenalnya. Ify
sangat menyayanginya. Dari Sivia, Ify tahu apa arti hidup, apa arti
sahabat yang sesungguhnya.
Tanpa Ify sadari, tubuhnya ditabrak tiba-tiba. Sivia memeluknya erat, seperti Ify memeluk lututnya erat tadi.
“Gue tahu gimana sakitnya.” Ucap Sivia disela-sela isakannya.
Ify tersenyum tipis. Dalam hati ia sangat bersyukur atas
hadirnya Sivia di kehidupannya. Gadis ini sangat tulus menyayanginya.
Begitupun Ify.
“kita cengeng banget ya Siv.” Seloroh Ify dengan diikutin tawa hambarnya.
Sivia ikutan tertawa hambar. “Kita udah seperti ini
sebelumnya. Kita berkali-kali saling menguatkan, saling support.......”
ucapan Sivia menggantung, ia sudah tidak kuat karena isakannya yang
semakin kuat, rasa sesak yang semakin memeluknya erat.
“Tapi tetep aja kita nangis. Kenapa sih, mereka pergi
disaat kita sayang sama mereka.” Sahut Ify, menarik nafas panjang agar
omongannya lancar. Tidak tersedat sesakan yang sangat tidak
diharapkannya.
Sivia melepas pelukannya, lalu duduk dengan asal.
Memandangi matahari yang semakin akan menuju tempat peristirahatannya.
Ilalang menari-nari mengikuti arah sang angin. Sivia menutup mulut
dengan tangannya, guna memperkecil suara isakannya.
Ify mengikuti kegiatan Sivia. Dia duduk disamping Sivia
memandang lurus kedepan. Tatapan kosong. Sesekali, air matanya terjatuh.
“Gue kangen Rio, Siv.” Lirih Ify.
Sivia yang sedari tadi masih menetralkan perasaannya,
tiba-tiba menoleh kearah Ify yang sedang menatap lurus kedepan dengan
pandangan kosong.
“Inget nggak pas loe ngenalin gue ke dia? Inget nggak pas kita tiba-tiba sering hangout
bareng? Trus kita sama-sama nyesek kayak gini pas kehilangan Gabriel,
tapi dia yang nguatin. Gara-gara dia, kita ulang dari awal lagi. Kita
jadi semangat lagi. Kita gila bareng. Seru-seruan bareng. Dan tiba-tiba
kebiasaan yang kita lakukan dan sudah menjadi siklus, nggak bisa kita
lakukan lagi.” Ify mulai monolognya.
Mendengar penuturan Ify, Sivia semakin tak kuasa
mendengar apa yang diungkapkan Ify. Air matanya turun dengan derasnya
lagi ia memeluk Ify dari samping. Memeluknya erat lagi. Sementara, Ify
tidak merespon, ia masih diam seperti semula.
“Inget nggak pas kita yang sama-sama moody, tiba-tiba dia
hadir dan bikin mood kita naik. Inget nggak, pas loe galauin si Alvin,
kita bertiga berpelukan disini. Trus dia nraktir ice cream waktu itu. Padahal dia bener-bener pelit, tapi dia rela buat hibur kita berdua. Dan sekarang, siapa yang rela ngasih kita ice cream, Siv? Siapa?”
Sivia menggeleng samar dalam pundak Ify. Ify
merasakannya. Tapi dia hanya diam. Air matanya sudah tidak berproduksi
lagi. Bukan karena dia sudah tidak sedih lagi. Tapi, dia sudah capek
untuk menangis. Dia lupa bagaimana cara menangis, seolah kelenjar air
matanya sudah tak berproduksi lagi. Padahal, ia masih merasakan sesuatu
yang luar biasa sakitnya. Dia ingin melampiaskan, tapi dia tidak tahu
bagaimana caranya.
“Dia sesosok yang luar biasa. Dia bisa memposisikan
segala suatu peran yang kita butuhkan. Gue bersyukur bisa dipercayainya
buat ngisi hari-harinya lebih dari temen. Gue bego banget nggak jaga
dia, nggak bikin dia nyaman sama gue, sama kita, dan akhirnya milih
pergi.”
“Fy, kita bisa. Kita bisa lalui ini semua. Gue yakin. Pas
Gabriel aja kita bisa, pasti Rio juga bisa. Dia pergi bukan karena dia
nggak nyaman sama loe, sama gue, sama mama, sama papa, bahkan sama
temen-temennya! Gue yakin kita masih bisa seru-seruan. Gue yakin. Selama
kita bareng-bareng, nguatin satu sama lain, gue yakin bisa, Fy. Kita
udah belajar banyak dari Rio, seharusnya kita bisa praktiin itu.”
Ify tertawa hambar lagi. “Loe lupa dua hal, Sivia.
Gabriel memang pergi, tapi dia nggak pergi sejauh Rio. Dia masih disini
Siv, tapi bukan sama kita. Dan gue yakin kita emang bisa, tapi
suasananya beda.”
Mata Ify menerawang, mengenang beberapa memori di otaknya yang sekarang seolah terputar kembali.
“Gue juga kangen Kak Rio...” ucap Sivia di sela-sela pelukannya.
Mendengar ucapan Sivia, Ify pun seperti bernyawa kembali,
karena sedari tadi ia hanya menatap lurus ke depan tak ada ekspresi
yang tergambar di wajahnya. Ia menatap Sivia dalam. Wajah Sivia
disembunyikan di balik lengan mungil Ify.
Dengan cepat, Ify membalas pelukan Sivia. Merengkuhnya
dalam dekapannya. Ia sadar, jika beberapa waktu tadi dia sangat egois.
Dia hanya memikirkan perasaannya dengan meluapkan beberapa kata yang
pasti membuat Sivia juga bertambah sakit. Dan seolah ucapan Sivia
memanggil Rio dengan panggilan untuk seseorang yang lebih tua
membangunkan dirinya. Sivia tidak pernah memanggil Rio dengan sebutan
kak. Baru kali ini, dan itu membuat Ify harus bangun dari
keterpurukannya. Jika, Sivia lebih berat cobaan yang dipikulnya. Dia
adik kandung Rio,,,
Untuk kesekian kalinya, mereka berpelukan. Menyalurkan
semua kekuatan untuk masing-masing. Hanya terdengar isakan dari
keduanya.
Ify menarik nafas panjang, memantabkan hatinya jika
sekarang saatnya. Saat untuk bangkit. Ia lalu melepaskan diri dari
pelukannya dengan Sivia.
“Kita nggak boleh sedih, Siv. Rio pasti ikutan sedih liat adiknya
nangis gini.” Ucap Ify disela-sela isakannya. Tangannya mendekat kearah
pipi Sivia lalu menghapus aliran-aliran kecil itu.
Sivia ikutan tersenyum walaupun masih terisak, tapi tidak seperti
tadi. “Dan dia bakal lebih sedih kalau liat pacarnya nangis.” Kini
gantian Sivia yang mengusap air mata Ify.
Mereka pun tergerak untuk berpelukan erat lagi. Dalam hati masing-masing, mereka sangat tidak ingin kehilangan satu sama lain.
“Rapiin diri yuk. Kita cari icecream! Gue traktir deh.” Ucap Ify sambil akan bangkit.
“Nggak mau ah! Beli sendiri-sendiri aja. Dulu, Kak Rio yang traktir kita icecream eh dianya sekarang nggak bisa traktir lagi. Gue nggak mau kehilangan loe.” Sahut Sivia yang sudah menghilangkan isakannya.
Ify tertawa geli mendengarnya. Ada benarnya juga sih, pikirnya.
“gue juga nggak mau kehilangan loe. Nggak mau!!! Yaudah, yang penting makan icecream!!!”
****
Mereka berdua meninggalkan tempat favorite mereka, sebuah bukit di daerah pinggiran kota, menuju ke kedai ice cream langganannya yang tidak jauh dari tempat tersebut.
Keadaan Sivia dan Ify sangat berbeda dengan sebelumnya.
Mereka sekarang terlihat ceria, walaupun jelas masih ada isakan-isakan
dalam hatinya.
Sesampaimya di kedai, mereka memesan apa yang biasa
mereka pesan, rasa favoritenya. Hati mereka pun kembali mencelos ketika
tiba di kedai ini. Namun, mereka pendam. Mereka sudah bertekad untuk
bangkit, nggak boleh sedih terus-terusan.
Di tengah asyiknya ngobrol, Ify dan Sivia di kagetkan dengan sesosok yang baru memasuki kedai tersebut.
“Gab...riel?” ucap keduanya terbata.
“Ify... Sivia.” Ucap Gabriel tak kalah kaget, sementara
beberapa teman yang bersama dengan Gabriel saling berpandangan.
“Kalian cari tempat dulu, ya.” Bisik Gabriel kepada
ketiga temannya, dua cewek dan satu cowok. Formasi yang sama persis
seperti ketika Gabriel, Ify, Sivia dan..... Rio berkumpul.
“Kok Cuma berdua?” tanya Gabriel ketika teman-temannya berlalu.
Hati Ify dan Sivia kembali mencelos, sesak itu
menghampiri lagi. Namun, mereka saling berpandangan satu sama lain, dan
tersenyum. Seolah menguatkan satu sama lain melalui senyuman itu.
“Rio tidur, dia udah tenang disana.” Jawab Ify sambil tersenyum, dan diangguki Sivia.
Alis Gabriel bertemu. Keningnya berkerut. Tatapannya
menerangkan jika ia bingung. Tak tahu apa maksud kedua gadis ini.
“tidur di surga.” Sambung Sivia.
Seketika, tubuh Gabriel melemas. Bergantian, kini hatinya
yang mencelos, matanya memanas. Dan ia tidak bisa berkata-kata lagi....
∞∞∞
gabisa ngmg ini apa, like ussual lah ceritaku slalu gaje
wakaka. so, Butuh saran dan kritiknya yaa! makasih yang udah nyempetin
baca hehe. btw, happy mother day<3
@Lyasavitri
No comments:
Post a Comment